Sabtu, 15 Desember 2012

Dia Pelangi

Memandanginya dari balik lensa tebalku. Selalu begitu. Cantik. Ah, tidak, dia tidak cantik, hanya saja dia tidak-membosankan-untuk-dipandang-lama-lama. Wajahnya putih, dengan sedikit rona merah di pipi. Natural, dan aku suka. Rambutnya diikat ekor kuda, dengan karet rambut yang setiap hari berganti warna. Merah untuk senin, Jingga untuk selasa, Kuning di hari rabu, Hijau dipakai hari kamis, Biru hari jum'at, dan Nila untuk hari terakhir sekolah, yaitu sabtu. Kupikir dia akan mengikat rambutnya dengan ikat rambut berwarna Ungu pada hari Minggu.

Hari ini hari Selasa, Fisika. Soal yang diberikan oleh guru sudah kukerjakan dengan mudah. Gampang. Aku menoleh sembilan puluh derajat ke arah kanan dan kudapati dia, dengan ikat rambut berwarna 'jingga'. Seperti hari-hari lainnya, wajahnya yang 'tidak-membosankan-untuk-dipandang-lama-lama' sedang menatap buku, dari sudut pandangku disini, aku hanya bisa melihat separuh wajahnya saja. Sepertinya dia belum selesai mengerjakan soal. Karena tangan kanannya masih menarikan bolpoin di selembar kertas. Mungkin kertas coret-coret, sesekali dia mengerutkan dahinya, sehingga aku dapat membayangkan alisnya menyatu. Tentu saja aku tidak bisa melihat wajahnya secara total. Setelah lama mencoret-coret, akhirnya dia berhenti. Mungkin sudah selesai. Tiba-tiba namaku dipanggil. Aku membawa bukuku ke depan untuk dinilai. Dan aku terpaksa berhenti memandanginya.

Rabu. Sial. Mendung. Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan penuh, fullspeed. Tapi tetap menghindari genangan air agar tidak terciprat. Tidak mungkin aku sampai sekolah dengan baju seragam putih-biru yang penuh noda lumpur kan? Aku berangkat sekolah dengan sepeda, tidak diantar. Karena aku memang bukan berasal dari keluarga kaya, bahkan bisa dibilang aku kurang berkecukupan. Aku cerdas, dan itu menyelamatkan kehidupanku, sehingga aku tidak harus berhenti sekolah hanya sampai jenjang Sekolah Dasar, tentu saja dengan beasiswa dari negara. Sampai di gerbang sekolah, aku buru-buru memarkirkan sepedaku. Sudah mulai gerimis. Aku dan anak-anak kelas dua lainnya cepat-cepat mencari tempat berteduh. Kemudian mobil keluaran Amerika terbaru berhenti di depan gerbang sekolah. Aku tersenyum. Dia datang. Seorang perempuan dengan baju pink, seperti seragam perawat, atau sejenisnya mungkin, keluar dari pintu mobil bagian belakang, mengembangkan payung, kemudian membukakan pintu depan. Pemilik wajah yang 'tidak-membosankan-untuk-dipandang-lama-lama' itu keluar dari sana, dengan ikat rambutkuning cerah. Dengan melihatnya saja, rasanya mentari mulai terbit di hatiku.

Kamis. Kantin sekolah ramai sekali. Jam makan siang, aku duduk di salah satu bangku, mengeluarkan kotak makan dari tasku. Aku memang tidak jajan, lebih hemat membawa bekal sendiri dari rumah, begitu kata ibu. Aku mulai menyendok sesuap nasi dan telur dadar-ku, namun tibatiba telingaku menangkap getaran suara, aku menghentikan acara makanku dan menengadahkan kepalaku. 

"Boleh aku duduk disini?" Suaranya selembut beledu.

"Boleh..." kataku. Aku rasanya tidak bisa bernafas. Gadis yang menyapaku tadi sudah duduk berhadapan denganku. 

Dia mengeluarkan kotak makan siang dari tasnya. Kemudian tersenyum, aku membalas senyumnya, susah sekali, karena rasanya degup jantungku tidak bisa diatur dan layaknya penderita hippotermia, aku membeku karena senyumnya yang seindah Pelangi. Tetapi kemudian suara selembut beledu itu menyadarku, "Mari makan" katanya. Aku langsung melanjutkan makanku yang tertunda. Oh iya, nanti-nanti (kalau berani), aku akan bilang padanya, kalau namanya, Pelangi, sangat cocok dengan dirinya, yang memang seindah Pelangi.

Jumat, sepulang sekolah aku tidak bisa pulang karena hujan deras. Sepedaku menganggur di parkiran. Ah, betapa aku benci hujan. Hanya tinggal segelintir orang di sekolah. Dan mereka asyik sendiri. Bergerombol, ada yang bergosip, main PXP, dan lain-lain. Aku memang tidak terlalu suka beramai-ramai. Tidak heran jika memang aku tidak populer, mereka rata-rata mengenalku hanya karena aku siswa terpandai dan selalu mendapat peringkat satu paralel. Aku memutuskan untuk menunggu hujan berhenti di kelas sambil membaca materi untuk ulangan matematika esok hari. Tidak sengaja aku menginjak botol kecil, aku mengambilnya. Ternyata isinya obat. Pil. Punya siapa ini? Aku menelusuri botol itu, mencari identitas nama pemiliknya yang mungkin ada. Dan aku menemukannya. Ini punya Pelangi , pemilik wajah yang 'tidak-membosankan-untuk-dipandang-lama-lama'.

Sabtu. Aku berdiri di depan kelas, menunggu mobil keluaran terbaru dari Amerika menampakkan batang hidungnya dan berhenti di depan gerbang sekolah. Kantongku agak menggelembung karena di dalamnya ada botol kecil yang berisi obat. Semalam aku menimbang-nimbang. Mengembalikan langsung, atau taruh saja di laci meja gadis itu? Tapi kemudian aku memilih untuk mengembalikannya langsung. Aku rindu mendengar suaranya yang sehalus beledu itu. Aku ingin mendengarnya lagi. Karena memang dia sangat jarang berbicara. Bel masuk berbunyi, tapi dia tidak datang. Mungkin dia telat. Tetapi, sampai jam pulang pun, gadis yang berwajah 'tidak-membosankan-untuk-dipandang-lama-lama' itu tetap tidak datang.

To be continued.....



Salsabila, 15 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar